Hot!

Other News

More news for your entertainment

Persoalan Pokok Rakyat Papua dan Jalan Keluarnya

Penulis Rinto Kogoya*

Persoalan Pokok Rakyat Papua dan Jalan Keluarnya

“Tulisan ini saya persembahkan kepada Rakyat Papua dalam perayaan 50 Tahun Aneksasi atau Pendudukan Indonesia di Tanah Papua. Dan refleksi bagi rakyat dan organisasi-organisasi Perlawanan di Papua yang mencita-citakan Pembebasan Nasional Rakyat dan Bangsa Papua dari Penidasan oleh Kolonialisme Indonesia, Imperialisme dan Militerisme”

Situasi Papua dewasa ini yang diperhadapkan dengan berbagai persoalan dalam berbagai segi kehidupan baik dari aspek ekonomi politik maupun sosial dan kebudayaan tidak terlepas dari sejarah perkembangan kehidupan Rakyat Papua. Jika kita menyimak bagaiman awal gagasan pembentukan Bangsa Papua oleh kaum intelektual Papua pada dekade 1960an tentunya mereka memiliki cita-cita agar Rakyat Papua dapat membangun Bangsa dan Tanah Airnya dengan lebih baik, lebih demokratis, lebih adil dan lebih manusiawi dan lebih sejahtera di negerinya.

Walaupun tidak dapat kita temukan catatan sejarah tentang rumusan negara yang dikehendaki para pengagas Bangsa Papua, tapi keinginan mereka untuk memerdekakan Rakyat dan membentuk suatu negara adalah wujud cita-cita yang mulia karena menghendaki agar Rakyatnya terbebas dari sebuah penjajahan. Salah satu gagasan dari Resolusi Kongres Nederland Nieuw Guinea Raad (Dewan Niuew Guinea) pada tanggal 19 Oktober 1961, yang memiliki arti penting bagi Rakyat Papua saat ini adalah semboyan “One People One Soul” yang artinya Satu Rakyat Satu Jiwa. Semboyan ini mengartikan persatuan dari seluruh rakyat Papua yang beraneka ragam suka, bahasa, tradisi adat dan kehidupan ekonominya.

Namun, kita tau bersama dimana Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno yang egois dan angkuh telah melancarkan sebuah usaha untuk mengagalkan lahirnya negara Papua Barat. Yang mana setelah deklarasi kemerdekaan Bangsa Papua Barat 1 Desember 1961, kemudian pada tanggal 19 Desember 1961 Indonesia melalui Soekarno mengumandangkan TRIKORA. Yang diikuti oleh mobilisasi militer dan para militer untuk menguasai Papua dari tangan Belanda. Dengan alasan membebaskan Papua dari penjajahan Belanda.

Tentu hal yang tidak disadari Soekarno adalah gagasan membentuk sebuah negara Papua Barat adalah murni kehendak Rakyat Papua yang dipelopori oleh kaum intelektual Papua pada waktu itu, diantaranya ; N. Jouwe, M.W. Kaiseppo, P. Torei,  M.B. Ramendey, A.S. Onim, N. Tanggakma, F.Poana dan Andullah Arfan.
Sejak TRIKORA 19 Desember 1961 dan penyerahan administrasi dari pemerintahan sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Indonesia selalu mengunakan militer (TNI-Polri) sebagai tameng untuk menghadapi perlawanan Rakyat Papua yang tidak menghendaki kehadiran Indonesia.

Hingga saat ini, dapat kita saksikan sendiri bagaimana marginalisasi terhadap Rakyat Papua dari segi ekonomi terjadi di depan mata kita, bagaimana prilaku aparat militer Indonesia terhadap Rakyat Papua, bagaimana tanah-tanah adat dijadikan lahan investasi perusahaan milik negara-negara Imperialis, bagaimana tingginya kematian di Papua khususnya kematian Ibu dan Anak, bagaimana lapangan pekerjaan yang ada cuma PNS dan buruh perusahaan milik negara-negara Imperialis, bagaimana minimnya tenaga guru dan prasarana pendidikan didaerah-daerah pelosok dan masih banyak lagi persoalan lain yang sedang membelenggu Rakyat Papua saat ini. Hal yang demikian terjadi diseluruh Papua dan tetap akan dipertahankan, guna kepentingan penguasaan terhadap Tanah Papua. Sehingga kesejahteraan menjadi alasan rasional Indonesia terhadap gejolak konflik di Papua yang sebenarnya berkaitan dengan Identitas suatu bangsa yang hendak memerdekakan diri.
Terbelenggunya Rakyat Papua dalam sebuah penjajahan, penindasan dan diskriminasi dikarenakan kita diperhadapkan pada musuh bersama seluruh Rakyat Papua yang menghambat laju kemajuan dan perkembangan hidup Rakyat Papua. Berikut, kita akan menyimak secara umum bagaimana ketiga musuh Rakyat Papua tetap berusaha menancapkan cakarnya di atas Tanah Papua. Dan bagaimana agar rakyat Papua dapat terbebas dari cengkraman maut yang mematikan dari yang namanya Kolonialisme Indonesia, Imperialisme, dan Militerisme.

#Kolonialisme Indonesia
Pengertian Kolonialisme adalah “kebijakan dan praktek kekuatan dalam memperluas kontrol atas masyarakat lemah atau daerah”. Kolonialisme selalu memiliki sifat yang arogan dan ekspansionis. Tujuan utama kolonialisme adalah menguras sumber kekayaan, sedangkan kesejahteraan dan pendidikan rakyat daerah koloni, tidak diutamakan.
Kolonialisme Indonesia di Papua Barat dimulai ketika adanya infasi militer ke Papua sejak TRIKORA 1961 dengan pembentukan Komando Mandala untuk melancarkan operasi “Mandala” yang dipimpin oleh Letjend. Soeharto. Ini bertujuan untuk melakukan ekspansi (peluasan wilayah kekuasaan) negara Indonesia.  Ini dilakukan berdasarkan klaim yang tidak logis dan sepihak dari Soekarno, bahawa jauh sebelum Indonesia lahir, papua adalah bagian dari kerajaan  majapahit dan beberapa klaim lainnya.

Nyatanya dalam Konfrensi Meja Bundara hanya meliputi Hindia Belanda (meliputi Sabang sampai Amboina) tidak termaksud Nederland Niue Guinea (Papua Barat). Namun karena Indonesia yang keras kepala hendak menguasai Papua, dan Belanda yang mengalami resesi ekonomi akibat perang, maka pada 1 Mei 1963 terjadi penyerahan kekuasaan dari pemerintahan sementara PBB, UNTEA kepada Indonesia. Indonesia yang hadir di Papua dengan alasan mempersiapkan pelaksanaan Hak Menentukan Nasib Sendiri sesuai Perjanjian New York, nyatanya merekayasanya menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Tentunya dapat kita pastikan bagaimana proses dan hasilnya.

Hingga kini, untuk menjalankan kolonisasi dan mempertahankan kekuasaannya atas Tanah Papua, mesin birokrasi, sistem politik seperti pemilu  dan militer (TNI-Polri) digunakan untuk melegitimasi keberadaan Indonesia di Papua. Birokrasi merupakan mesin legal Indonesia untuk menjadikan Papua bagian dari NKRI dan militer merupakan alat reaksioner yang digunakan untuk mempertahankan Papua apapun caranya. Dan sistem politik seperti pemilu untuk menunjukan kalau Rakyat Papua patuh terhadap sistem politik yang berlangsung di Indonesia. Hal sama seperti yang pernah dilakukan Belanda terhadap Indonesia dan Papua, kembali dilakukan oleh Indonesia terhadap bangsa Papua.

Selain birokrasi, sistem politik dan militer, kebiakan politik seperti UU N0 21 Tahun 2001 tentang Otsus, UU Pemekaran Wilayah, UP4B dan kebijakan lain hanya merupakan upaya untuk mempertahankan Papua tetap dalam kekuasaan Indonesia. Sama halnya dengan Belanda yang mengelurkan kebijakan Politik Etis (Transmigrasi, Irigasi dan Edukasi) terhadap rakyat Indonesia. Namun Belanda memperoleh keuntungan yang sangat besar dari kebijakan politik etis yang dikeluarkan. Sedangkan Indonesia, tidak hadir di Papua sebagai penjajah tunggal, Indonesia melayani tuanya yaitu Imperialis. Indonesia hanya mendapatkan balas budi dari tuanya berupa pajak dan royalti. Balas budi ini terkait jasa Indonesia yang dengan setianya menjaga agar operasi perusahaan-perusahaan milik Inperialis seperti Freeport, BP, LNG Tangguh dan lain-lain tetap melakukan aktivitas ekploitasinya dengan aman dan lancar. Sehingga, apa layak rakyat Papua hidup bersama-sama dengan “NEGARA BABU” seperti Indonesia? Sehingga jangan kaget jika kita bertemu dengan istilah seperti “Rezim Boneka”, “Rezim Antek” dll.

Sehingga jelas, bahwa setiap kebijakan yang diterapkan di Papua oleh Indonesia tujuannya bukan untuk membangun rakyat Papua tapi membuka akses bagi kaum Imperialis untuk mengeruk kekayaan alam di Papua. Dan Papua menjadi sapi perahan yang setiap menghasilkan susu yang banyak untuk mengemukan Indonesia dan tuannya Imperislisme.

#Imperialisme
Imperialisme adalah tahapan tertinggi dari kapitalisme atau kapitalisme monopoli. Sedang kapitalisme adalah paham yang meyakini bahwa pemilik modal dapat melakukan usahanya untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Imperialisme atau kapitalisme monopoli tidak hanya menghisap kaum buruh tapi juga menguasai wilayah-wilayah penghasil bahan mentah bagi Industrinya secara tidak langsung.

Kehadiran Imperialisme di Papua diawali dengan penandatanganan Kontrak Karya PT Freeport milik Imperialis Amerika dengan pemerintahan Soeharto pada tahun 1967. Kehadiran Freeport telah mengabaikan hak-hak demokratis Rakyat Papua untuk merdeka sebagai sebuah negara. Kepentingan Imperialisme atas Papua sesuai dengan ciri-cirinya yaitu :
1.   Konsentrasi produksi dan kapital sehinga menciptakan monopoli yang berperan penting dalam kehidupan monopoli. Artinya, konsentrasi produksi hanya berpusat di Negara kapitalis. Mereka juga menguasai pasar dengan menentukan harga.

2.   Perbaduan antar kapital bank dan kapital industry menciptakn basis yang menamakan kapital finace. Contoh: Bank Dunia, Bank IMF. Bank tidak akan hanya sekedar memberikan pinjaman kepada suatu negara. Ia mengharapkan ada imbal balik dari sebuah negara, dan mengharapakan adanya jaminan. Dari permutran modal dan uang, itu akan kembali kepada kapitalis itu sendiri.
3.   Ekspor kapital berbeda dengan ekspor komoditi.
Artinya: Mereka hanya akan mengeskpor kapital kepada negara-negara lain agar mereka menyediakan bahan komoditi bagi mereka.
4.   Pembentukan kapitalisme monopoli internasional dan pembagian dunia di antara mereka.
5.   Pembagian teritori di seluruh dunia di antara kekuatan kapitalis besar telah selesai. Contoh : Amerika menguasai pengunungan tengah Papua melalui Freeport, Inggris dengan Cina berbagi kepala burung Papua melalui BP dan LNJ Tangguh, Korea di selatan Papua melalui Corindo dan Medco dan kawan-kawannya.

Dari penjelasan ciri-ciri Imperialisme, menunjukan bahwa Papua saat ini sedang berada dalam cengkraman negara-negara Imperialis. Hal ini ditunjukan dengan masuknya berbagai perusahaan-perusahaan berskala Multy National Coorporation (MNC) seperti BP di Bintuni dan LNG Tangguh di Sorong Selatan serta pembukaan perkebunan skala luas seperti MIFEE di Maroke dan Corindo dan Medco yang sudah ada jauh sebelumnya. Untuk mengamankan keberlangsungan aktifitas eksploitasi perusahaan-perusahaan milik Imperialis ini, militer (TNI-Polri) selalu digunakan untuk menghalau perlawanan Rakyat pemilik hak ulayat.
Nyatanya, keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat mensejahterakan seluruh Rakyat Papua yang berjumlah kurang lebih tiga juta jiwa.

#Militerisme
Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan keamanannya terletak pada kekuatan militernya dan mengklaim bahwa perkembangan dan pemeliharaan militernya untuk menjamin kepentingan masyarakat. Militerisme memiliki sifat dasar yaitu represif dan reaksioner.


Keberadaan militerisme di Papua sudah dimulai dengan masuknya penjajah Belanda, baru kemudian sifat reaksionernya muncul ketika Indonesia hadir di Papua. Militerisme Indonesia memulai aksinya di Papua paska TRIKORA 19 Desember 1961 dengan adanya seruan untuk memobilisasi umum rakyat Indonesia untuk membebaskan Papua Barat dari Belanda oleh Soekarno. Katanya membebaskan namun faktanya hari ini sedang menjajah.

Indonesia melalui kekuatan militer lewat penerapan kebijakan operasi militer yang pertama yaitu Operasi Mandala tahun 1961 dan berbagai operasi lain untuk melakukan teror, intimidari, pengejaran, pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya. Selain itu, Daerah Operasi Militer (DOM) melalui Operasi Koteka pada tahun 1970-an, Rakyat Papua dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain.

Akibat Operasi Militer banyak rakyat Papua Barat yang telah menjadi korban. Hal dapat dilihat dari laporan Amnesty International yang mengemukakan bahwa telah terjadi pemusnahan terhadap lebih dari  100 ribu rakyat Papua Barat akibat kekejaman militer Indonesia.
Aksi militerisme ini terus terjadi di Papua hingga saat ini dalam era reformasi di Indonesia dan dilakukan untuk mempertahankan kepentingan pendudukan Indonesia di Papua dan melindungi kepentingan industri kapitalis milik negara-negara Imperialis untuk mengekploitasi kekayaan alam Papua.
#Jalan Keluar

Tentu tidak mudah melawan sistem yang sudah sekian lama menghisap, menindas dan menjajah rakyat Papua untuk segera angkat kaki dari Tanah Papua. Butuh persatuan diantara rakyat melalui organisasi atau faksi perlawanan rakyat Papua yang ada dengan satu program perjuangan yang tegas dan kesadaran bersama tentang siapa sejatinya musuh rakyat Papua. Bagaimana segala daya upaya difokuskan pada kesatuan program perjuangan yang telah disepakati dan dijalankan bersama. Menghilangkan sikap ego dan klaimisme mutlak diperlukan untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Memperjuangkan Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determination) bagi rakyat Papua merupakan satu-satunya tawaran solusi demokratis dalam penyelesaian persoalan Papua sebagai tahapan rakyat Papua untuk menentukan sikap hidup, apa tetap bersama Indonesia atau merdeka sendiri. Melalui mekanisme internasional yang dikenal dengan nama “REFERENDUM”. Dan harus diperjuangkan terus menerus oleh seluruh organisasi perlawanan rakyat Papua secara sinergis baik di Tanah Air Tercinta Papua, Indonesia dan dunia Internasional hingga cita-cita Pembebasan Sejati Rakyat Papua terwujud. Dan hari depan yang lebih baik dapat dinikmati oleh generasi Papua yang akan datang.

Apa yang saya uraikan secara umum diatas merupakan pandangan Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] yang memiliki platform perlawanan Anti Kolonialisme Indonesia, Anti Imperialisme dan Anti Militerisme. Sehingga turunannya dalam program perjuangan adalah memperjuangkan Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determination) bagi rakyat Papua sebagai syarat adanya demokratisasi bagi rakyat Papua, Tutup semua aktivitas perusahaan milik Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dll karena faktanya cuma menghisap , serta Tarik Militer [TNI-Polri] Organik-Nonorganik dari seluruh Tanah Papua sebagai biang terjadinya pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua.
Akhirnya, selamat menyonsong 50 Tahun Aneksasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semoga tulisan ini dapat membantu langkah kita kedepan.


Papua, Contoh Penjajahan Yang Tersisa Di Abad 21

Oleh : Bonnie Triyana

Papua, Contoh Penjajahan Yang Tersisa Di Abad 21

Bangsa ini lebih suka menganggap masalah selesai ketimbang menyelesaikan masalah itu sendiri. Dan Papua adalah masalah yang dianggap telah selesai. Padahal itu hanya anggapan.
Konsekuensi dari cara berpikir yang demikian adalah memaksakan bahwa semua harus terlihat baik-baik saja, tiada peduli bagaimana caranya.
Usaha serius untuk mencari jalan penyelesaian masalah Papua sempat ada di masa Gus Dur jadi presiden, namun tak lagi ada yang meneruskan karena Gus Dur dijatuhkan. Pada masa Gus Dur, dialog dikedepankan. Kuping dan kepala dingin lebih banyak digunakan, daripada mulut. Sementara sekarang, tangan dan kaki yang lebih banyak bekerja. Ini malah makin menambah masalah.
Menurut saya, cara paling beradab menyelesaikan permasalahan ini hanya melalui dialog, betapapun letihnya itu. Tindakan kekerasan, represi yang dilakukan oleh aparat keamanan tidak bakal menyelesaikan apapun, kecuali menimbun masalah semakin tinggi. Pemerintah Indonesia harus memperlakukan rakyat Papua sejajar, setara sebagai manusia, bukan seperti obyek jajahan.
Penangkapan terhadap ribuan aktivis Papua malah semakin memperbesar perlawanan balik rakyat Papua. Kalau itu memang yang diinginkan oleh pemerintah Indonesia, silahkan saja teruskan. Sejarah membuktikan, pembungkaman dan penahanan hanya akan menghasilkan perlawanan. Ini soal waktu saja.

Memang persoalan kebangsaan Papua ini bukan hal gampang. Tetapi saya tak mau bilang bahwa semua bangsa Indonesia ini memiliki persoalan dengan Papua. Hanya kaum modal yang memiliki kepentingan di Papualah yang membuat semua jadi terlihat sebagai sebuah hambatan.
NKRI Harga Mati
“NKRI Harga Mati” adalah salah satu sesat nalar nasionalisme. Doktrin yang punya potensi sebagai pembenar bagi tindakan-tindakan fasisme.
Nasionalisme yang kita anut, sebagaimana yang dikemukakan Sukarno pada 1 Juni 1945, adalah nasionalisme modern. Ia tak berangkat dari kesukuan, agama dan ras. Ia berangkat dari kesadaran tentang adanya kesamaan hasrat dan cita-cita berbangsa dan bernegara: mencapai keadilan, kesetaraan dan kemakmuran.
Nasionalisme kita dibangun bukan oleh aneksasi, bukan oleh ekspansi militer. Nasionalisme itu dibangun oleh dialog yang terus menerus, sehingga puncaknya mencapai kesepakatan bersama tentang apa itu Indonesia.

Nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme ultra yang merasa lebih tinggi dari yang lain, merasa lebih kuat dan unggul sehingga menjadi dasar untuk menindas mereka yang dianggap lebih rendah. Maka jangan heran bila penindasan malah menghasilkan perlawanan. Apabila rakyat di sebuah negeri mengalami penindasan, adalah hak setiap manusia untuk berjuang membebaskan dirinya dari segala macam penindasan itu. Oleh karena itu, yang seharusnya harga mati adalah kemanusiaan.
Papua dalam Kesejarahan Indonesia
Saya belum menemukan ada pembahasan soal Papua pada masa pergerakan nasional. Namun Papua sudah akrab bagi mereka yang dibuang ke Boven Digul, mereka yang terlibat dalam pemberontakan PKI 1926.

Marco Kartodikromo mengambarkan Papua (dia menyebutnya New Guinea) sebagai tempat pembuangan di mana mereka bisa mengatur diri sendiri sesuai dengan cita-cita kaum Komunis yang telah bertahun-tahun mereka bicarakan di rapat-rapat dan ditulis di buku dan koran.
Tentu saja Marco tidak sedang sungguh-sungguh mengatakan itu. Dia mengejek pemerintah kolonial, karena dia selalu yakin pemerintah Belanda itu selalu menjalankan politik kolonial yang menindas, yang tak mungkin memberikan sedikit pun kebebasan kepada rakyat Indonesia walaupun sudah dibuang ke sebuah tempat terpencil di Papua itu.
Khusus terkait peristiwa Trikora 19 Desember 1961, menurut saya, kita harus memahami konteks peristiwanya dulu. Dengan memahami konteksnya, kita bisa paham kenapa sebuah peristiwa terjadi dalam pengertian yang sesuai kondisi zaman saat itu.

Bagi Sukarno, penguasaan Belanda atas Papua adalah perlambang kolonialisme dan imperialisme yang masih tersisa. Membebaskan Papua dari cengkeraman Belanda adalah membebaskan Papua dari kolonialisme dan imperialisme. Maka jangan heran kalau sejak RIS (Republik Indonesia Serikat) pada 1950, Sukarno selalu menuntut pembebasan Papua dari penguasaan Belanda.
Benar di kalangan Papua ada dinamika tersendiri, namun apabila pertanyaanya tentang apa sikap Sukarno terhadap Papua, saya lebih melihatnya justru dilandasi semangat pembebasan. Apalagi kita tahu Sukarno dan tokoh-tokoh negeri-negeri bekas jajahan lain, seperti Nehru, Gamal Abdul Nasser, sedang giat-giatnya mengampanyekan negeri-negeri yang belum bebas dari penjajahan, baik di Asia maupun di Afrika. Papua harus dikaitkan dengan konteks itu.

Saya menjadi ingat kisah Ibrahim Isa, Sekjen Organisasi Internasional Setiakawan Rakyat Asia-Afrika (OISRA) di Kairo, Mesir, yang waktu itu memiliki tugas utama mengampanyekan pembebasan Irian Barat (nama Papua waktu itu) ke dunia luar.

Mengapa Orang Papua Ingin Merdeka

Oleh: Krishta Ria Rumbiak


Mengapa Orang Papua Ingin Merdeka

Permasalahan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah terjadi sejak permulaan integrasi Papua ke dalam NKRI. Proses integrasi yang dipaksakan melalui penentuan pendapat rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 sesungguhnya tidak adil karena hanya melibatkan 1.045 orang. Dari jumlah tersebut tidak semuanya orang Papua. Bahkan ironinya, hampir semua peserta PEPERA dikondisikan untuk memilih bergabung dengan NKRI.

Setelah diintegrasikan fase berikutnya adalah operasi militer dan intelejen untuk menghancurkan rakyat Papua yang berideologi lain. Kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba menyuarakan keadilan di atas tanah Papua dihancurkan secara sistematis. Atas nama keutuhan NKRI, pembunuhan, penghilangan dan pemerkosaan terhadap rakyat Papua dilegalkan.
 Fase selanjutnya adalah eksploitasi sumber daya alam dan transmigrasi. Sumber daya alam, terutama hasil hutan, hasil laut, tambang dan minyak bumi dikeruk. Pada waktu yang bersamaan, dengan alasan demi pemerataan penduduk, ribuan orang didatangkan ke tanah Papua melalui program transmigrasi.

 Eksploitasi sumber daya alam di tanah Papua terus berlangsung, sementara manusia Papua terabaikan bahkan terlupakan. Akibatnya, setelah 43 tahun (1969-2013) manusia Papua tetap terbelakang. Bahkan penduduk dan orang Papua yang berdiam di tanah ini tercatat sebagai manusia termiskin di Indonesia. Ironi yang tidak dapat diterima dengan akal sehat, sebab Papua terkenal sebagai pulau terkaya di Indonesia bahkan di seantero jagad, tetapi penduduknya hidup miskin. Manusia Papua terus di bunuh, di siksa dan diabaikan sehingga saat ini Kepadatan Manusia Papua sangat Minim di Muka bumi ini.

Untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat Papua, kita tidak perlu menggunakan aneka teori sosial, sebab ke mana mata memandang, pasti dijumpai orang Papua yang hidup melarat.
 Perumahan kumuh, tanpa fasilitas yang memadai, pendidikan dan kesehatan yang terbelakang. Akibatnya mata rantai kebodohan terus berlanjut. Dan lebih tragis lagi kondisi kesehatan orang Papua yang sangat memprihatinkan. Kehidupan ekonomi orang Papua berada jauh di bawah kaum imigran yang menguasai semua sektor ekonomi.

Jurang kesenjangan sosial dan ekonomi yang sangat dalam tentu menimbulkan gesekan yang sering digiring ke ranah politik. Setiap kali orang Papua mengekspresikan kekecewaan atas berbagai bentuk ketidakadilan yang dialaminya, selalu diberi stigma makar. Orang Papua pantas berteriak dan memperjuangkan nasibnya karena setelah sekian puluh tahun digabungkan dengan Indonesia, mereka tidak mengalami kemajuan apa pun. Pembangunan yang dilakukan di Papua dinikmati oleh kaum imigran yang tinggal di kota-kota di Papua. Sementara orang Papua yang semakin termarginal tidak menikmati apa pun.
 
Rasa tidak puas akan ketimpangan pembangunan dan lambannya upaya mengentaskan kemiskinan bagi orang Papua menimbulkan aneka gejolak. Namun, sayangnya, setiap gejolak yag muncul selalu ditafsirkan sebagai upaya untuk memisahkan diri dari NKRI. Entah mengapa, Indonesia selalu takut dan alergi terhadap tuntutan orang Papua untuk memisahkan diri? Kalau pembangunan berjalan lancar, kalau saja orang Papua diperhatikan, kalau saja derajat dan martabat hidup orang Papua dihormati, tentu tidak ada suara-suara merdeka/referendum. “Ngapaian orang Papua berteriak merdeka, kalau mereka sudah sejahtera?” Justru keterpurukan hidup yang mereka alami selama ini mendorong mereka untuk memperjuangkan nasibnya yang tidak kunjung berubah.

Sampai saat ini, pembangunan untuk Papua belum memadai. Aneka kebijikan dan peraturan yang dibuat untuk menyejahterakan orang Papua belum mampu membawa perubahan bagi hidup orang Papua. Mengapa? Hal yang tidak dapat disangkal bahwa tidak ada kepercayaan dan penghargaan terhadap martabat manusia Papua sebagai pemilik sah atas tanah Papua. Orang Papua selalu dicurigai. Tidak ada lagi kepercayaan terhadap orang Papua, sebab setiap orang Papua yang memiliki pikiran dan tindakan kritis selalu dicap sebaga separatis.

Bentuk kecurigaan pemerintah Republik Indonesia terhadap orang Papua termanifestasi dalam dan melalui kehadiran aparat militer yang tidak dapat dibendung. Di mana-mana di tanah Papua dibangun pos-pos militer untuk mengawasi gerak hidup orang Papua. Akibatnya, orang Papua tidak merasa nyaman di atas tanahnya sendiri. Kita patut merenung: “Orang Papua sudah hidup menderita, selalu diawasi, dan diberi aneka stigma negatif. Bagaimana rasanya hidup menderita di atas tanah yang kaya raya? Bagaimana menyaksikan orang lain hidup kaya raya sementara para pemilik tanah ini hidup melarat?”...
 
Dan Mengapa Papua Ingin Merdeka?
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”  (Alinea Pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Tuntutan rakyat Papua untuk merdeka dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan cengkraman kepentingan negara-negara dunia pertama kini sedang menggema di seantero wilayah Papua Barat. Setelah sebelumnya tuntutan itu dilakukan secara gerilya dan diplomasi di luar negeri (internasional), maka sejak bergulirnya Reformasi di Indonesia (1998) tuntutan itu disampaikan secara terbuka, terutama di Indonesia tanpa meninggalkan tuntutan dengan cara gerilya.

sampai saat ini Perjuangan Pembebasan terus berlanjut di karenakan Pelanggaran HAM di atas Tanah Ciptaan Tuhan.

Islam “Mendukung” Papua Merdeka

Oleh : Ismail Asso





Islam “Mendukung” Papua Merdeka

Kesannya selama ini tidak ada muslim Papua yang mendukung perjuangan bangsa Papua keluar dari “penjajahan” (kecuali Thaha Al Hamid, Sekjen PDP), umat muslim di Papua maupun Indonesia bersikap diam, tidak progressif malah tidak ada inisiatif sama sekali bahkan cenderung menyetujui “penjajahan” atas Tanah dan bangsa Papua. Lembaga dan ormas Islam tidak ada yang menyuarakan pelanggaran HAM dan sejumlah ketidak adilan yang terjadi di Papua, justru selama ini lembaga dan organisasi Kristen yang getol menyuarakan “nahi mungkar” yang terjadi di bumi Papua, pantaslah kiranya bila orang non muslim ada yang mempertanyakan apakah benar Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang mengajarkan tentang kebenaran universal ?
Oleh : Ismail Asso*

“Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a; Ya Tuhan kami keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”. (QS. 4: 75).
Kutipan ayat Al Quran di atas untuk memperjelas dan menjadi dasar pemaparan penulis selanjutnya, karena keterbatasan ruang sehingga penulis tidak menjelaskan secara komprehensif tuntas, tapi partial.

Pembahasan ini penting artinya bagi kaum muslimin Papua, karena kebanyakan orang Papua belum tahu bagaimana ajaran Islam sesungguhnya dalam konteks pembebasan Papua.
Padahal pembebasan adalah hukum perintah agama Islam, penulis merasa penting menjelaskan ini karena selama ini belum pernah dijelaskan oleh orang-orang muslim Papua sendiri.
Bahkan sayangnya selama ini ada kekeliruan masyarakat Papua, baik kalangan orang Islam sendiri, utamanya orang Papua diluar Islam, keterkaitan Islam sebagai suatu nilai kebenaran yang bersifat universal dan perjuangan Papua serta muslim sebagai pribadi-pribadi yang berpotensi multi interpretasi.

Tulisan singkat ini mencoba menjelaskan keterkaitan Islam dan Pembebasan Papua perspektif muslim Papua. Muslim Papua antara Merdeka "M" atau Otsus "O".
Kesan banyak kalangan sampai saat ini muslim Papua (kecuali Sekjend PDP, Muhammad Thoha Al-Hamid) dalam perjuangan dari penjajahan, darimanapun kolonialisme itu, bersikap diam, tidak progressif malah tidak ada inisiatif sama sekali dalam rangka mengambil bagian pembebasan Papua bersama rakyat Papua secara bersama.
Parahnya lagi, Muslim Papua (tanpa membedakan pribumi – pendatang) seakan menyetujui penjajahan atas dirinya.

Lembaga-lembaga Islam seperti MUI, Muhammadiyyah, ICMI dan PWNU Papua, juga organisasi mahasiswanya seperti HMI, IMM, PMII dan KAMMI di Papua sendiri diam tanpa peduli atas pelanggaran HAM berat di Papua selama ini.
Sejak daerah ini di aneksasi melalui Pepera tahun 1962 yang konon tidak melalui mekanisme one man one vote, berbeda dengan lembaga agama Kristen, Keuskupan Papua dan Klassis GKI Papua yang selalu aktif menyuarakan dan mengangkat pelanggarakan HAM terasa lebih dominan kepekaannya menegakkan nilai-nilai kebenaran ajaran agamanya itu.
Sebaliknya, muslim Papua dan ormas Islam dalam hal pelanggaran HAM oleh aparat TNI/POLRI diam seakan tidak terjadi sesuatu,  dan menunjukkan ketidak pekaannya.
Asumsi orang bukan penganut agama Islam bahwa Islam adalah agama tidak benar dan bukan ajaran kebenaran universal.

Padahal tidak demikian ajaran paling mendasar agama Islam sebagaimana dasar-dasar ajaran agama Islam itu akan di tegaskan dalilnya dalam bagian tulisan berikut ini.
Umumnya institusi Islam dan kaum muslimin Papua dalam sikap antara pilihan "M" dan" O", terkesan mendukung "O" alias menghalangi pembebasan Papua. muslim Papua tidak ingin merdeka apalagi membantu berjuang membebaskan Papua dari “penjajahan”. Demikian mentalitas masyarakat sipil yang datang mengais rezeki di Tanah Papua.
Terlepas dari persoalan beda interpretasi atas teks-teks suci (Al-Quran dan Al-Hadits), guidance (pegangan), memungkinkan multi interpretasi, namun sangat disayangkan muslim Papua diam berpangku tangan.
Hal itu tidak mencerminkan nilai-nilai ajaran agama Islam sebagai rahmatan lil'alamin (kasih sayang bagi seluruh alam).

Untuk itu kedepan kaum muslimin Papua sebagai jaminan agamanya itu wajib ikut serta dalam membebaskan Papua dari penjajahan, entah darimanapun penjajahan itu, karena jaminan kebenarannya adalah Allah dan Rasul (baca, -Qur’an dan Al-Hadits).
Karena ajaran dasar agama Islam menjamin hal itu. Tujuan kehadiran Islam melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir, menyempurnakan agama terdahulu dengan semangat pembebasan.
Termasuk pembebasan Papua dari penindasan dan penistaan martabat kemanusiaan oleh Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Namun sangat disayangkan karena peran kaum muslimin Papua tidak terlihat. Betapapun pelaku kekerasan dan penjajahan orang beragama Islam kalau itu melanggar ajaran kebenaran dan keadilan maka wajib hukumnya menolak.
Oleh sebab itu tindakan penindasan tidak menutup kemungkinan bisa saja dilakukan oleh orang lain yang seagama dengan kita. Dan kita wajib menentangnya kalau itu bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam.

Sedangkan ajaran dasar agama islam menyuruh kita menegakkan keadilan dan amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh kebenaran mencegah kemungkaran). Karena keadilan adalah ajaran paling pokok dan dasar dalam Islam seperti Firman Allah SWT yang terjemahannya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 5:8)”.
Implikasi ayat ini mengharuskan kita sebagai muslim wajib menegakkan keadilan tanpa pembatasan pada apa dan siapa. Keharusan menegakkan keadilan pada siapapun dari tindakan kejahatan yang dilakukan oleh siapapun apakah saudara, keluarga, seagama jika ada tindakan keburukan, maka wajib bagi orang berimana (menurut ayat diatas) menegakkan ketidakadilan.
Banyak perintah dalam ayat Al-Qur’an menyuruh orang-orang muslim beriman untuk menyeru kebaikan, keadilan dan mencegah keburukan bagi muslim hukumnya wajib.

Namun kebanyakan muslim Papua karena yang melakukan penindasan itu adalah Indonesia yang mayoritas beragama Islam maka diam tanpa mengkritisi tindakan itu salah atau benar sesungguhnya suatu sikap dan tindakan salah maka dengan sendirinya tidak adil.
Pembebasan Papua dari penindasan sesungguhnya li’Ila kalaimatillah izzul islam walmuslimin Papua. Ini berarti rekontektualisasi nilai-nilai Islam paling tinggi dan jauh ditarik turun kebawah sesuai konteks social politik dan budaya Papua.

Namun demikian sayangnya kebanyakan kaum muslimin Papua tidak menyadari nilai kebaikan dan keadilan Islam tanpa pandang bulu.
Hal demikian disebabkan oleh akibat kurang mengenalnya kita, muslim Papua, akan ajaran inti Al-Quran yang sesungguhnya hadir dimuka bumi untuk membebaskan umat manusia dari ketertindasan, pembunuhan, perampasan hak-hak asasi manusia seperti yang terjadi pada bangsa Papua Barat saat ini.
Perampasan atau perampokan harta kekayaan Papua oleh siapapun Indonesia mayoritas beragama Islam adalah kebathilan, kedholiman yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.


Penganiayaan bangsa Papua apapun alasannya, bertentangan dengan ajaran inti Islam yang terkandung didalam kitab suci, Al-Qur'an dan Al-Hadist. Sebab esensi kehadiran Islam dimuka bumi adalah rahmatan lil’alamin, kasih sayang bagi seluruh alam, dan missi utamanya kemerdekaan, kebenaran, keadilan dan pesan utamanya sesuai nama agama Islam itu sendiri yaitu kedamaian.
Muslim lain, sikapnya dalam konteks Papua bertentangan dengan kenyataan penindasan Indonesia. Muslim Papua tidak seperti Thoha Al-Hamid yang Sekjen PDP itu.

Muslim pribumi mudah percaya omong kosong yang umum kita ketahui bersama seperti integrasi Papua dalam NKRI untuk membangun dan memajukan rakyat Papua, padahal kenyataan yang terjadi adalah pencurian dan pengangkutan kekayaan alam Papua yang sangat kaya raya dengan membiarkan ketertinggalan, keterbelakangan dan kebodohan rakyat Papua.
Pihak lain hadir ke Papua hanya menghalangi penentuan nasib sendiri sebagaimana hal itu merupakan sunnatullah (natural law) dalam artian bahwa kemerdekaan atau kebebasan menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa adalah konsekuensi logis yang Allah memberikannya kebebasan itu.

Muslim Papua wajib menjaga perampasan kebebasan akan hak-haknya yang diberikan dan dijamin oleh Allah SWT untuk di dipelihara dari demi kemakmuran seluruh rakyat Papua sendiri dari perampokan oleh Amerika (emas orang Papua di Timika), gas dan minyak oleh Inggris di Bintuni, gas alam di Mamberamo Raya oleh Cina, ikan dan udang oleh Jepang, kayu besi (Merbau) oleh berbagai negara dll.
Muslim tidak boleh diam harga diri dan kekayaan alam dirampas bangsa lain. Karena kekayaan alam melimpah yang diberikan oleh Allah SWT, sebagai amanah kepada kita dan dipelihara dari kerusakan, perampasan dan pencurian negara lain harus dilawan.
Untuk itu tulisan ini harapannya muslim Papua harus menjadi sadar kembali atas kekeliruan selama ini, kedepan kaum muslimin Papua tanpa membedakan pribumi maupun pendatang kedepan harus menbangun kesadaran sebagai muslim Papua untuk berdiri dalam barisan terdepan menyuarakan kebenaran atas penjajahan dan penindasan hak-hak hidup manusiawi yang dirampok dan ditindas oleh asing.

Penjajah harus dilawan sebagai hukum wajib (fardhu ‘ain) oleh seluruh muslim Papua. Muslim Papua menyerukan resolusi jihad fisabilillah bagi pembebasan Papua. Setidaknya tulisan ini sebagai ghozwulfikri, bahwa dengan opini demikian akan menjadi khiroh (semangat) kaum muslimin Papua khususnya internal muslim dari kekeliruan sikap politik antara dua pilihan sebelum ini atas intrepretasi ajaran Islam. Muslim Papua wajib menegakkan keadilan sebagai perintah Allah SWT, yang mulia diwujudkan dengan menyatakan kebenaran sebagai yang benar dan salah sebagai salah (‘amar ma’ruf nahi mungkar). Islam Dan Muslim Berbeda Mendukung Papua
Adalah wajib hukumnya bagi muslim kedepan ini, kalau memang mereka benar muslim dan ingin menegakkan nilai-nilai Islam yang benar sesuai ajaran yang ada dalam Qur'an-Hadist. Muslim Papua, dari manapun asal-usul keturunannya wajib melawan penindasan, sebab pendindasan tidak sejalan dengan semangat agama Islam yang mengajarkan nilai persamaan dan menjunjung martabat atau harga diri manusia.


Sikap demikian sejalan dengan ajaran Islam, karena esensi Islam hadir ke dunia melalui Nabi Muhammad SAW untuk membebaskan umat manusia serta menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan tidak terkecuali ditanah Papua saat ini. Islam sekali lagi hanya, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana nilai Islam di jelaskan di atas kini menjadi kewajiban tidak hanya oleh muslim pribumi seperti Thoha Al-Hamid namun seluruh muslim Papua harus menyatakan kebenaran bahwa penjajahan atau pencurian, perampokan atau exploitasi kekayaan alam Papua seperti PT.Freeport, British Petrolium di Bintuni (daerah penduduk muslim dari dulu), pencurian kayu (illegal logging), harus dilawan untuk di pertahankan.

Muslim Papua harus ikut serta melawan ini sebagai jihad fisabilillah, islam agama Tuhan rakyat Papua anggap Islam identik dengan Jawa, Bugis-Buton- Makasar dan Ternate, Fak-Fak Selatan Kepala Burung Papua. Maka persepsi orang bahwasanya agama Islam melegalisasikan ajarannya sebagaimana yang dipertontonkan muslim saat ini adalah salah, muslim penjajah dan menganggap Islam sama dengan Indonesia. Padahal ajaran agama Islam lain dan harus dibedakan dari suku bangsa.
Indonesia 85% pemeluk agama Islam. Sehingga mereka yang beragama Islam datang. Tapi harus dibedakan dan kita harus ingat bahwa Islam agama Tuhan, Islam agama diperuntukkan bagi umat manusia dijagat raya, tidak hanya, Indonesia yang mendholimi bangsa Papua.

Lalu dimana kaitan Islam dalam mendukung pembebasan Papua oleh Muslim?
Islam dimanapun hadir membebaskan penjajahan, perampasan, dan penindasan. Lalu adakah Islam mendukung Papua merdeka? Jawabannya 100% mendukung sebagaimana pengertian Islam dari "sana"-nya karena kemerdekaan adalah hak kodrati yang dijamin oleh Allah SWT, kepada setiap individu dan bangsa.

Tapi kalau pertanyaan ini di tanyakan adakah muslim mendukung Papua Merdeka ? Jawabannya ada dan tidak. Karena jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah yang terbesar dan mayoritas penduduknya beragama Islam di dunia maka penting di jelaskan di sini, tentang perbedaan pengertian antara islam dan muslim. Penjajahan Papua sama sekali tidak ada kaitan dengan Islam, karena islam dan muslim berbeda walaupun berasal dari satu akar kata. Muslim sebagai kata benda yang berarti manusianya, sedangkan Islam sebagai kata sifat yang abstrak, berarti nilai.

Sesuatu yang berdimensi nilai berarti juga sesuatu yang dianggap suci, sakral (keramat), yang berintikan ajaran-ajaran doktrin pokoknya bersifat transendetal. Wallahu'alam Bishowaaf.
(Penulis adalah Pendakwah asli Papua/dikutip dari papuapostblog dan diedit seperlunya oleh redaksi)