Oleh : Bonnie Triyana |
Papua,
Contoh Penjajahan Yang Tersisa Di Abad 21
Bangsa ini lebih suka menganggap masalah selesai
ketimbang menyelesaikan masalah itu sendiri. Dan Papua adalah masalah yang
dianggap telah selesai. Padahal itu hanya anggapan.
Konsekuensi dari cara berpikir yang demikian adalah
memaksakan bahwa semua harus terlihat baik-baik saja, tiada peduli bagaimana
caranya.
Usaha serius untuk mencari jalan penyelesaian
masalah Papua sempat ada di masa Gus Dur jadi presiden, namun tak lagi ada yang
meneruskan karena Gus Dur dijatuhkan. Pada masa Gus Dur, dialog dikedepankan.
Kuping dan kepala dingin lebih banyak digunakan, daripada mulut. Sementara
sekarang, tangan dan kaki yang lebih banyak bekerja. Ini malah makin menambah
masalah.
Menurut saya, cara paling beradab menyelesaikan
permasalahan ini hanya melalui dialog, betapapun letihnya itu. Tindakan
kekerasan, represi yang dilakukan oleh aparat keamanan tidak bakal
menyelesaikan apapun, kecuali menimbun masalah semakin tinggi. Pemerintah
Indonesia harus memperlakukan rakyat Papua sejajar, setara sebagai manusia,
bukan seperti obyek jajahan.
Penangkapan terhadap ribuan aktivis Papua malah
semakin memperbesar perlawanan balik rakyat Papua. Kalau itu memang yang
diinginkan oleh pemerintah Indonesia, silahkan saja teruskan. Sejarah
membuktikan, pembungkaman dan penahanan hanya akan menghasilkan perlawanan. Ini
soal waktu saja.
Memang persoalan kebangsaan Papua ini bukan hal
gampang. Tetapi saya tak mau bilang bahwa semua bangsa Indonesia ini memiliki
persoalan dengan Papua. Hanya kaum modal yang memiliki kepentingan di Papualah
yang membuat semua jadi terlihat sebagai sebuah hambatan.
NKRI Harga Mati
“NKRI Harga Mati” adalah salah satu sesat nalar
nasionalisme. Doktrin yang punya potensi sebagai pembenar bagi
tindakan-tindakan fasisme.
Nasionalisme yang kita anut, sebagaimana yang
dikemukakan Sukarno pada 1 Juni 1945, adalah nasionalisme modern. Ia tak
berangkat dari kesukuan, agama dan ras. Ia berangkat dari kesadaran tentang
adanya kesamaan hasrat dan cita-cita berbangsa dan bernegara: mencapai
keadilan, kesetaraan dan kemakmuran.
Nasionalisme kita dibangun bukan oleh aneksasi,
bukan oleh ekspansi militer. Nasionalisme itu dibangun oleh dialog yang terus
menerus, sehingga puncaknya mencapai kesepakatan bersama tentang apa itu
Indonesia.
Nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme ultra yang
merasa lebih tinggi dari yang lain, merasa lebih kuat dan unggul sehingga
menjadi dasar untuk menindas mereka yang dianggap lebih rendah. Maka jangan
heran bila penindasan malah menghasilkan perlawanan. Apabila rakyat di sebuah
negeri mengalami penindasan, adalah hak setiap manusia untuk berjuang
membebaskan dirinya dari segala macam penindasan itu. Oleh karena itu, yang
seharusnya harga mati adalah kemanusiaan.
Papua dalam Kesejarahan Indonesia
Saya belum menemukan ada pembahasan soal Papua pada
masa pergerakan nasional. Namun Papua sudah akrab bagi mereka yang dibuang ke
Boven Digul, mereka yang terlibat dalam pemberontakan PKI 1926.
Marco Kartodikromo mengambarkan Papua (dia
menyebutnya New Guinea) sebagai tempat pembuangan di mana mereka bisa mengatur
diri sendiri sesuai dengan cita-cita kaum Komunis yang telah bertahun-tahun
mereka bicarakan di rapat-rapat dan ditulis di buku dan koran.
Tentu saja Marco tidak sedang sungguh-sungguh
mengatakan itu. Dia mengejek pemerintah kolonial, karena dia selalu yakin
pemerintah Belanda itu selalu menjalankan politik kolonial yang menindas, yang
tak mungkin memberikan sedikit pun kebebasan kepada rakyat Indonesia walaupun
sudah dibuang ke sebuah tempat terpencil di Papua itu.
Khusus terkait peristiwa Trikora 19 Desember 1961,
menurut saya, kita harus memahami konteks peristiwanya dulu. Dengan memahami
konteksnya, kita bisa paham kenapa sebuah peristiwa terjadi dalam pengertian
yang sesuai kondisi zaman saat itu.
Bagi Sukarno, penguasaan Belanda atas Papua adalah
perlambang kolonialisme dan imperialisme yang masih tersisa. Membebaskan Papua
dari cengkeraman Belanda adalah membebaskan Papua dari kolonialisme dan
imperialisme. Maka jangan heran kalau sejak RIS (Republik Indonesia Serikat)
pada 1950, Sukarno selalu menuntut pembebasan Papua dari penguasaan Belanda.
Benar di kalangan Papua ada dinamika tersendiri,
namun apabila pertanyaanya tentang apa sikap Sukarno terhadap Papua, saya lebih
melihatnya justru dilandasi semangat pembebasan. Apalagi kita tahu Sukarno dan
tokoh-tokoh negeri-negeri bekas jajahan lain, seperti Nehru, Gamal Abdul
Nasser, sedang giat-giatnya mengampanyekan negeri-negeri yang belum bebas dari
penjajahan, baik di Asia maupun di Afrika. Papua harus dikaitkan dengan konteks
itu.
Saya menjadi ingat kisah Ibrahim Isa, Sekjen
Organisasi Internasional Setiakawan Rakyat Asia-Afrika (OISRA) di Kairo, Mesir,
yang waktu itu memiliki tugas utama mengampanyekan pembebasan Irian Barat (nama
Papua waktu itu) ke dunia luar.
0 komentar:
Posting Komentar